Majalengka, Nextnews.id-SMPN 1 Leuwimunding melalui komite sekolah yg diketahui oleh Kepala sekolah Dra Hj. Ani kusniasari melaksanakan Rapat musyawarah dengan orang tua siswa kelas IX perihal pungutan uang rencana kegiatan akhir tahun. Sabtu 23 Agustus 2024
Sebagian besar orang tua siswa hadir dan memenuhi tiga ruangan kelas yang disiapkan untuk pertemuan tersebut, hadir juga kepala sekolah dan ketua komite Iing Sulasikin S.Ag beserta jajaran anggota komite yang lain,
rapat diawali dengan sambutan dan arahan dari kepala sekolah dan kemudian dilanjutkan ketua komite yang memberikan penjelasan tentang rencana adanya pungutan uang untuk kegiatan akhir tahun ajaran untuk siswa kelas IX,
sontak saja penjelasan ketua komite tersebut dibalas oleh semua orang tua wali dengan gegap riuh meneriaki.. “hhuu” dan “keberatan
Dalam penyampaiannya ketua komite sekolah hanya menjelaskan jumlah dan rincian pungutan yg sudah ditentukan sendiri dan oragang tua wali diminta untuk menyetujui tanpa adanya proses musyawarah terlebih dahulu
Adapun rincian pungutan tersebut adalah : pungutan uang untuk album kenangan 50 ribu, pungutan perpisahan 75 ribu, pungutan medali 35 ribu, pungutan kegiatan akhir tahun 65 ribu, pungutan long marc 180 ribu, pungutan foto 55 ribu dan jumlah keseluruhan 515 ribu rupiah
Salah satu orangtua wali, haji Dedi menyampaikan keluhannya atas pungutan tersebut yang membebaninya karena anaknya bukan hanya satu yang sedang bersekolah,
sehingga adanya pungutan uang tersebut makin berat untuk membiayai anak-anaknya bersekolah, dia berharap pihak sekolah bisa transparan dan akuntable, dan meminta keikut sertaan orang tua wali dalam menentukan kegiatan yg akan dilakukan siswa sehingga kegiatan dan pengeluaran dirasa kurang penting tidak usah diadakan
“Saya keberatan pungutan tersebut karena bukan kali ini aja komite meminta ke orangtua wali..kemarin baru beres sumbangan masjid dan pagar sekolah, sekarang ada lagi yang ini..”
Setelah ketua komite menyampaikan hal tersebut, peserta rapat tidak banyak diberikan kesempatan untuk bersuara untuk diminta pendapatnya atau untuk sekedar bertanya, pihak komite langsung bergegas meminta orang tua wali untuk mengangkat tangan yg setuju, akan tetapi beberapa kali diminta peserta rapat meneriaki kekecewaannya dan sebagian besar tidak setuju dan menolak untuk mengangkat tangan, akan tetapi komite sekolah tetap saja menganggap seluruh orangtua wali menyetujui dan rapat dianggap selesai dan menghasilkan poin-poin pungutan tersebut
Dikesempatan lain setelah rapat selesai media melihat ada beberapa orang tua wali bergegas mendatangi komite sekolah dan menyampaikan keluhannya karena tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan padahal dalam rapat tersebut yang bersangkutan terus mengacungkan tangan ingin menyampaikan pendapatnya
Pada kesempatan itu salah satu orangtua wali, Eva st Arofah menyampaikan bahwa rapat komite tadi dianggap belum selesai dan tidak menghasilkan karena para orangtua wali sebagian besar keberatan dan menyatakan sikap petisi keberatan atas pungutan yang dilakukan komite sekolah tersebut karena merupakan bentuk pungli dan ada dugaan mark up harga serta komite sekolah tidak transparan tidak akuntabel dalam setiap menggalang dana dari siswa atau orang tuan siswa seperti pungutan uang pembangunan masjid dan pagar sekolah dan pungutan pembelian buku paket/LKS
Eva yang juga ternyata sebagai Ketua Puspaga Majalengka lebih menyoroti bagai mana sekolah SMPN 1 Leuwimunding ini harus ramah anak dan tidak boleh mengeluarkan siswa yg sedang berhadapan dengan hukum
“Seharusnya Komite sekolah sebagai wakil dan kepanjang tanganan dari orangtua siswa untuk menyampaikan masukan ke pihak sekolah dan mendengar aspirasi dari orang tua, bukan sebagai corong kepala sekolah untuk meminta pungutan ke orangtua siswa, ungkap Eva “
Sementara itu ditempat terpisah, media meminta pendapat Agus Setiawan, praktisi hukum dan Direktur LBH Persada Majalengka. Dia mejelaskan bahwa Aktor pungli biasanya dilakukan oleh pihak sekolah, komite sekolah dan kordinator kelas, sedangkan modus pungli seringkali terjadi karena didasarkan atas rekayasa kebutuhan pendanaan sekolah yang kurang atau tidak tercover dana BOS dan dana pemerintah lainnya, oknum pimpinan sekolah mempunyai peran dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) yang biasanya disusun secara sepihak serta kurang partisipatif dan tidak transparan
Dokumen RAPBS akan dijadikan dasar legitimasi oleh komite sekolah untuk melakukan pungli, komite sekolah beralasan bahwa untuk menunjang proses belajar maka dibutukan “ini dan itu” (sebagaimana tertuang dalam RAPBS) tapi keuangan belum cukup atau BOS tidak mengcover, lalu komite mengundang orang tua siswa untuk melegitimasi keinginannya dalam musyawarah komite dan berita acara serta daftar hadir peserta rapat sebagai buktinya, terus menugaskan kordinator kelas untuk menyebarkan info pungutan dan menjadi kasir dan penagih pungli di tiap kelas bahkan dia bisa berperan bak debt colector jika ada orang tua yang tidak bayar pungutan sampai anaknya tidak mengikuti kegiatan, jadi objek sasaran anak didik yang belum bayar tersebut bisa dengan berbagai cara seperti dipermalukan, dipersulit sampai ancaman tidak mendapat nilai yg baik dan sebagainya
Selama tiga pihak ini dapat bergerak bebas tanpa kontrol dari pihak yang mengerti dan konsen di urusan pungli ini maka praktek pungli disekolah akan tetap lestari dan merajalela
Lebih lanjut Agus menyampaikan, kita mendorong agar peran/kewenangan komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana bisa dicabut, dan bagi pelaku pungli tidak terkecuali komite sekolah harus di usut tuntas dan sangsi tegas agar ada efek jera dan contoh bagi sekolah lain
“Bahwa adanya larangan segala pungutan bagi sekolah khususnya sekolah negeri sudah ditegaskan dalan aturan, dan pelaku yang melanggar dapat terkena pasal pemerasan dan terjerat undang-undang tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai pasal 12 huruf e UU No 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) pungkas Agus.